DATANGNYA hidayah terkadang unik, di luar nalar
kita. Ia tidak berproses secara logis, bahkan terkesan instan. Ia
bagaikan lailatul qadar yang menurut Buya Hamka, waktunya sebentar
tetapi mampu mengubah jalan hidup.
Namun, jika dirunut datangnya hidayah sesungguhnyadiawali proses
spiritual (mujahadah) yang panjang. Hidayah ibarat seorang siswa yang
memperoleh penghargaan akademik karena kepintarannya. Upacara
penghargaan memang berjalan hanya 10 menit. Namun, proses mencapai
puncak prestasi tersebut butuh kerja keras untuk waktu yang lama.
Begitu juga hidayah. Untuk mendapatkannya, orang perlu berproses
terlebih dahulu. Proses itulah yang akan mendatangkan pahala buatnya,
sesuai dengan tingkat kepayahannya (al ujratu ‘alaa qodri al masyaqqah).
Adalah kisa yang terjadi dengan seorang Muslimah di Kudus, Jawa
Timur. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama sekitar tahun 1991,
ukhti yang kini menjadi pengasuh santriwati SMPII Luqman Al Hakim,
Hidayatullah ini masuk sekolah kebidanan dan memilih tinggal di asrama.
Saat itulah hidayah datang. Ia memutuskan untuk mengenakan busana
Muslimah.
Ini keputusan hijrah yang luar biasa buat dirinya. Sebab, latar
belakang pendidikannya bukan sekolah agama. Ia tak pernah diajarkan
tentang kewajiban berhijab selama duduk di bangku sekolah. Yang ia
pahami, menutup aurat hanya wajib ketika sedang shalat.
Keadaan ini diperparah oleh kurang simpatinya penampilan figur Muslimah
berjilbab di kampungya. Jilbab diposisikan hanya sekadar tradisi.
Pakaian luar itu tidak identik dengan kesucian batin dan keluhuran
akhlak pemakainya.
Alhamdulillah, hidayah itu datang laksana fajar subuh(mitslu falaqish
shubh), membuka belenggu hatinya, melapangkan dadanya untuk menerima
cahaya kebenaran.
Ada harapan baru, motivasi baru, dan cara pandang baru.
Usai berhijrah, ia terus berupaya meningkatkan kualitas amal shalih, sebagaimana cara bersyukurnya Nabi Sulaiman AS:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ
وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي
بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan
untuk menger jakan amal Sholeh yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku
dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang Sholeh.” (QS: An
Naml [27] : 19).
Awal Datangnya Hidayah
Cerita ini bermula ketika lima siswi sekolah kebidanan membuat
gebrakan tak biasa. Mereka memberanikan diri memakai jilbab di sekolah.
Yang menarik, langkah berani kelima siswi itu bukan sekadar ikut
trendi, apalagi membuat sensasi. Mereka melakukan itu untuk sebuah
keyakinan. Dan, mereka terlihat sangat kuat memegang prinsip (mabda).
Mereka tak takut dengan siapa pun meski Surat Keputusan tentang
dibolehkannya memakai jilbab di sekolah kesehatan belum turun.
Mereka terlihat sangat siap menanggung risiko tak diizinkan ikut
ujian dan praktik lapangan, bahkan andai harus dikeluarkan dari sekolah
sekalipun. Belum lagi harus menghadapi intimidasi, interogasi,
pengucilan, pembunuhan karakter, dan dicitrakan ekstrim. Konsekuensi
seberat apa pun mereka siap terima.
Mereka juga berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis. Mereka
berperilaku terpuji. Dan, yang mencengangkan, mereka unggul dalam
prestasi akademik.
Fenomena ini menumbuhkan rasa empati yang dalam pada iri sang ukhti
kepada lima sahabatnya ini. Rasa empati ini kemudian berkembang menjadi
keinginan yang besar untuk mengenal Islam lebih dalam lagi, utamanya
syariat berjilbab.
”Apakah kita termasuk orang-orang yang hanya mengambil sebagian
syariat yang sesuai dengan nafsusyahwat dan menanggalkan syariat yang
lain (jilbab).
Hidayah Allah jangan disia-siakan sebelum Allah menggembok pintu hati
kita.” Begitulah pesan lima pionir penegakan syariat di sekolah itu
kepada sang ukhti pada suatu hari.
Maka, tahulah ia bahwa berhijab merupakan kewajibansetiap Muslim yang
kedudukannya sama dengan wajibnya rukun Islam. Ia bersifat qath’iyyatuts tsubut (ketentuan yang pasti, mengikat).
Kata-kata yang diucapkan kelima sahabatnya tersebut laksana sihir (inna minal bayani la sihran) yangmenggugah kesadarannya. Pernyataan yang keluar dari hati itu (qaulan tsaqila, qaulan layyina, qaulan karima, qaulan ma’rufah)
menghunjam kuat dalam hatinya, menguatkan tekad untuk segera mengambil
keputusan penting dalam fase kehidupannya, yaitu berjilbab, sekalipun
keluarga kurang mendukung.
Keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan modal perhiasan
pemberian orang tua, sang ukhti membeli satu jilbab dan kain untuk
mengganti seragam sekolah. Pakaian Muslimah yang hanya sepotong itu
tentu saja tidak cukup. Sang ukhti terpaksa meminjam jilbab temannya
jika jilbabnya kotor.
Awal mula memakai jilbab terasa canggung. Maklum, jilbab yang dipakai berukuran 150 cm. Ia tak biasa.
Namun, keyakinan di dalam lubuk hati mengalahkan semuaitu. Nikmatnya
iman telah mengubah pola pandang, orientasi hidup, dan perilaku.
Bahkan, ada kenikmatan spiritual (lazzatur ruh), meminjam istilah Abul Ala Al Maududi dalam karya monumentalnya al Hijab, menjalar dalam tubuhnya.
Kenikmatan itu adalah ketenangan jiwa; terkontrolnya ucapan, sikap,
dan perbuatan; tidak takut menghadapi ancaman dan teror yang dibuat
manusia sekaligus penyerahan diri secara total kepada Allah Yang Maha
Melindungi; terjaganya kesucian, kemuliaan, dan kehormatan; serta
terangakatnya martabat.
Dia jadi teringat ungkapan bijak orang tua zaman dahulu: ajining rogo soko busono, ajining diri soko lathi (harga
diri fisik seorang diukur dari cara berpakaian, kualitas kepribadian
dinilai dari cara berbicara). Ia bisa memahami bahwa jilbab tidak
sekadar asesoris, hiasan lahiriah, tetapi berpengaruh juga pada kesucian
batin pemakainya.
Sejak itu, pakaian Muslimah yang dipakainya menjadi filter sikap,
tutur kata, pergaulan, kesehariannya. Ia telah menemukan konsep
kehidupan. Ia semakin rajin mengikuti berbagai kajian keislaman (liqo).
Halaqah-halaqah taklim telah membuka cakrawala pikirannya tentang
kesempurnaan Islam. Ia semakin tidak khawatir dan tidak berduka setiap
diterpa persoalan hidup. Ia mudah berfikir jernih dan tidak emosional.
Berbagai ujian yang datang, ia pahami sebagai usaha untuk meningkatkan
derajatnya dan mengurangi dosanya.
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
”… Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran
atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS: Al Baqarah [2]
: 38).
Berjuang Untuk Jilbab
Setelah diri mendapat hidayah maka tugas berikutnya adalah mengajak
orang lain untuk menggapai hidayah yang sama. Itulah dakwah. Sang ukhti
paham betul bahwa ia juga punya tanggungjawab sosial untuk mendakwahnya
syariat Islam kepada orang lain.
Dakwah yang paling sederhana adalah teladan. Itu telah ia tunjukkan dengan ucapan, perbuatan, juga prestasi.
Tak cuma itu, sang ukhti dan beberapa aktivis Muslimah di Madiun,
Jawa Timur, juga bertekat memperjuangkan syariat berjilbab di lembaga
pendidikan kesehatan agar kelak adik-adik kelasnya bisa menjalankan
syariat tanpa perasaan takut.
Mereka mencari dukungan para dokter di rumah sakit dan mendatangi Dinas Pendidikan Propinsi di Surabaya.
Alhamdulillah, pertolongan Allah datang. Surat Keputusan soal jilbab
turun beberapa hari sebelum ujian. Semua siswi berjilab lulus dengan
predikat sangat memuaskan dan sekarang telah bertugas ke berbagai
daerah.
Bukan Mode
Saat ini wanita berjilbab telah menjadi pemandangan sehari-hari.
Sayangnya, filosofi jilbab belum banyak dipahami secara utuh oleh
pemakainya. Jilbab masih dimaknai sekadar mode, tak dijadikan fungsi
taklim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tarbiyah (pembinaan), tashfiyah (pemurnian cara pandang), dantarqiyah (peningkatan kualitas kepribadian).
Akibatnya, betapa banyak Muslimah yang berjilbab namun bebas bergaul
dengan laki-laki lain yang bukan mahramnya. Pola berislam seperti ini
jelas indicator sebuah kemunafikan. Nau’zubillah minzalik!
Sang ukhti adalah contoh nyata di zaman yang serba bebas sekarang ini
bahwa tegaknya syariat harus diperjuangkan lewat dakwah dan teladan.
Selebihnya, serahkanlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang berhak
memberi hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Kisah ini menunjukkan, bahwa hidayah juga bisa datang dengan cara
diusahakan alias ‘dijemput’. Ini sebagaimana janji Allah Subhanahu
Wata’ala;
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا
يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى
مُّسْتَقِيمٍ
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka
lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan
(syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu
benar-benar berada pada jalan yang lurus (Islam)”. (QS: Al-Hajj: 67)
Juga seperti firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(QS: Al-Ankabut: 69).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar